Daewoo berhasil karena kekuatan pendirinya : Kim Woo Chong. Kim mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk Daewoo. Ia tidur dan berkantor di pabrik, berkeliling dunia untuk mencari peluang baru, menanamkan kembali selisih keuntungan yang diperoleh, dan hidup sangat sederhana untuk ukuran seorang mahakaya seperti dia.
Hasilnya memang luar biasa. Bisnisnya berkembang sangat cepat. Dimulai dengan mengeksport tekstil dan pakaian jadi untuk Sears & Roebuck (Amerika) dengan modal awalnya hanya US$ 18 ribu, Daewoo kemudian masuk ke segala lini usaha, mulai dari barang-barang consumer electronic, alat-alat berat, pembuatan kapal, otomotif, komponen pesawat dan alat-alat ruang angkasa, telekomunikasi, konstruksi, hingga usaha-usaha di bidang keuangan, hotel dan perdagangan. Total penjualannya terus meroket dan mencapai US$ 34 miliar tahun lalu.
Tapi memasuki dasawarsa 1990 Chairman Kim tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa Daewoo mengalami krisis yang sangat buruk. Ke-19 anak perusahaanya yang biasanya mampu meraih keuntungan double digit tahun ini diketahui melempem. Ekspor merosot. Kalaupun Dewoo masih meraih laba, penyebabnya bukan usaha yang menguntungkan melainkan hasil penjualan aset-aset perusahaan. Upaya-upaya terobosan teknologi Daewoo dalam bidang semikonduktor juga gagal. Dan yang cukup menggangu, para buruh kini menuntut lebih banyak dan mereka sudah terang-terangan berani mogok secara
besar-besaran di pabrik-pabrik alat-alat berat Daewoo. Dihadapan sekitar 5 ribu eksekutifnya yang mengikuti pidato akhir tahun di Seoul Hilton International (juga milik Daewoo), Kim mengemukakan gagasannya untuk merampingkan perusahaan. Pertanyaan yang muncul kala itu tampaknya : mana dulu yang harus dibenahi Daewoo Electronics Co., misalnya sedang kehilangan pangsa pasar baik di Korsel maupun di luar negeri. Dewoo Telecommunications Inc. gagal mendapatkan sampbutan dalam pasar komputer AS setelah distributornya Leading Edge Products Inc. bangkrut. Daewoo Motor Co. yang
melakukan kemitraan dengan General Motors dan Le Mans gagal mencapai kapasitas produksi karena diboikot buruh. Sementara itu banyak yang masih harus dibenahi di pabrik kapal Daewoo yang terus merugi.
Mungkin karena investasi yang ditanam kan di Daewoo Shipbuilding besar sekali dan kondisinya juga paling parah, naluri Kim membawanya kesana. "Saya membersihkan meja direksi di Seoul dan membawa dokumen-dokumen penting ke Okpo (lokasi galangan kapal Daewoo) dan berkantor di antara kapal-kapal besar. Pesan saya cukup jelas: bahwa pimpinan tertinggi di grup ini bersedia melakukan apa saja untuk menyelamatkan kapal yang hampir karam ini." Tandasnya. "Yang saya perlukan adalah membangun semangat kerja "konsessus". Daewoo Shipbuilding & Heavy Machine (DSHM) kondisinya saat itu betul-betul tinggal menunggu kematian. Pesanan yang datang tak seberapa, smentara
produktivitas buruh sangat rendah. Pemogokan dan kerusuhan yang sering terjadi telah memekan banyak korban, baik mati maupun luka parah. Kalu di Barat, sudah pasti jalan yang ditempuh : likuidasi.
Tapi kini Kim tak mau. Ada nama Daewoo di galangan kapal itu, dan ia tak ingin nama itutercemar. "Orang boleh kehilangan apa saja, asal bukan reputasi," katanya. Maka dipikirkannya jalan keluar. Jalan keluar itu meminjam banyak sekali teknik dari buku-buku sekolah bisnis. Downsizing, empowerment, delayering, adalah istilah-istilah yang banyak muncul dalam rencana penyelamatan itu. Kecuali itu, jalan yang ditempuh Kim juga mengandalkan kekuatan Korea asli seperti disiplin, semangat kekeluargaan dan harmoni sosial.
Yang pertama dibenahi tentu kondisi keuangan. la meminta penjadwalan pembayaran utang ke Korea Development Bank yang jumlahnya 250 miliar won dan meminta tambahan utang baru 150 miliar won. Dengan janji akan menyuntik dana segar 400 miliar Won, Kim berhasil mendapatkan persetujuan bank itu. Untuk mengumpulkan dana sebesar itu saham di perusahaannya yang lain ia jual, demikianjuga sejumlah properti. Secara keseluruhan, uang yang dibenamkannya di situ bahkan melebihi janjinya: mencapai 775 miliar won. Mempertaruhkan uang sebesar itu untuk proyek yang nasibnya belum pasti,
jelas luar biasa.
Di Okpo, Kim tak hanya memakai seragam dan makan di kantin bersama para buruh. la juga bergaul dengan mereka setiap hari untuk mendengarkan keluhan mereka. Dia mengunjungi mereka di rumah, biasanya sewaktu makan pagi. Sesudah itu, pelatihan intensif dilakukan.' Tujuannya bukan untuk melatih pekerja membangun kapal (mereka sudah tahu) tetapi untuk mempersatukan kembali manajemen dan pekerja yang Hubungannya sudah rusak karena banyaknya kerusuhan. Bahkan pelatihan kekeluargaan pun diberikan, demikian pula kursus-kursus kesenian untuk para istri. Seluruh keluarga pekerja diajak piknik keliling Korea.
Pelatihan teknik baru diberikan setelah para pekerja diorganisasikan dalam grup-grup kecil tediri sekitar 12 orang. Pekerja dan manajer bersama-sama mengunjungi perusahaan Daewoo lain bahkan perusahaan-perusahaan Jepang. Tujuannya supaya para pekerja bisa menilai sendiri kemampuan mereka dan memikirkan upaya untuk meningkatkannya. Perubahan yang terjadi memang bukan perubahan besar seketika, tetapi
perbaikan kecil-kecil yang efek kumulatifnya tak kalah hebat. Pada 1989, sebuah alat las semi otomatis dikerjakan oleh seorang operator. Dalam tiga tahun, 6 alat dikerjakan satu orang, dan saat ini bahkan delapan. Karyawan yang terbebaskan dari pekerjaan itu bisa diberi pekerjaan lain. Daewoo juga melakukan rekayasa ulang proses produksinya yang berpusat pada galangan keringnya. Galangan sepanjang 530 meter itu mampu membangun 5 kapal sekaligus. Tetapi di situlah persoalannya: tak pernah terjadi kelima kapal itu selesai dalam waktu bersamaan. Padahal, begitu selesai galangan harus ditenggelamkan supaya kapal bisa keluar. Dengan demikian, terjadi ketidakefisienan pemanfaatan galangan.
Cara semacam itu diubah total. Kalau sebelumnya kapal dibangun lengkap di galangan, dengan cara baru bagian-bagian kapal dibuat di luar galangan untuk kemudian diangkat ke galangan dengan katrol raksasa. Di situ bagian-bagian itu dilas schingga menjadi kapal utuh - mirip membangun kapal lego. Dibutuhkan akurasi untuk melakukannya memang, tetapi kebutuhan tenaganyapun lebih sedikit. Dengan proses baru itu-disebut sistem baru pembangunan kapal - 85% pekerjaan diselesaikan di luar galangan, lebih besar dari sebelumnya yang 50%. Dampaknya pada waktu pengerjaan luar biasa. Pada 1989, diperlukan 15 bulan untuk membangun sebuah supertanker. Sekarang cuma perlu
8 bulan. Dengan begitu, order yang diterima pun bisa semakin besar. Konsumen juga
berdatangan karena DSHM bisa menawarkan harga lebih murah kecuali waktu pengerjaan yang lebih singkat. Pada 1993, perusahaan ini memperoleh pesanan kapal terbanyak di antara galangan kapal lain di dunia: 54 unit senilai US$ 2,8 miliar. Kini order menumpuk begitu panjang sehingga untuk 3 tahun ke depan pekerjaan sudah betul-betul penuh.
Perbaikan lain: buruh menjadi betul-betul kooperatif. Tahun lalu, galangan kapal terbesar Korea (Daewoo nomor dua) yang dimiliki Hyundai lumpuh karena pemogokan panjang. Pada bulan Juni serikat buruh juga meminta buruh DSHM mogok juga. Tetapi pemogokan itu berakhir sendiri dalam 24 jam setelah sebagian besar buruh, setelah berbicara dengan manajemen, memilih untuk tak melakukannya.
Meski kapal yang hampir karam telah dibenahi, nasib 19 anak perusahaan lain tentu perlu dipikirkan pula. Konsentrasinya di Okpo terbukti mengakibatkan anak-anak perusahaan lainnya seperti kehilangan gairah. la seperti kehilangan akal dan mengambil langkah-langkah seperti yang dilakukan di Barat, yakni perampingan. Di Asia, melakukan perampingan memang bukan hal yang lazim, bahkan kalau dilakukan tanpa rencana yang matang bisa menimbulkan keresahan. Di Seoul International Hotel dipenghujung tahun 1990, para eksekutif tampak murung. Mereka sudah mendengar rencana besar itu. Bahkan di hotel itu saja 200 manajer sudah di-PHKkan. Kemudian
presiden Daewoo Electronics dicopot dan digantikan seorang mekanik lulusan Massaschusetts Institute of Technology.
Dalam bidang pemasaran, Daewoo tampaknya juga melakukan tumaround yang sangat mendasar. Mereka mulai mengembangkan merek sendiri di negara-negara industri maju dan membuka jaringan baru di negara-negara berkembang. Menurut rencana strategis mereka, mobil-mobil Daewoo akan dipasarkan ke negara-negara berkembang seperti Filipina, Uzbekistan, Pakistan, Timur Tengah, negara-negara Amerika Latin dan negara-negara eks komunis di Eropa Timur.
Untuk memasuki pasar Eropa yang mulai menjadi satu itu, Daewoo membangun pabriknya di Irlandia Utara. Di Antrim, dekat Belfast, Daewoo membangun pabrik video cassette recorder (VCR) senilai US$ 39 juta yang menghasilkan 3 juta pita kaset VCR setiap tahunnya. Sementara itu di Uzbekistan, Daewoo membangun pabrik patungan senilai US$ 60 juta untuk rnembuat telepon tanpa kabel, TV dan vacum cleaner. Negara-negara Afrika yang kesulitan devisa tampaknya akan mengikuti pola investasi Daewoo di Uzbekistan, yakni transaksinya dilakukan secara imbal-beli.
Secara menyeluruh tampaknya Daewoo memilih untuk memasuki negara- negara berkembang yang sedang membangun. Di negara-negara itu peluang masih cukup besar dan kesempatan untuk membangun merek tidak terusik para pesaing. Namun demikian yang cukup mengejutkan pada 1991 adalah kunjungan Kim ke Korea Utara. Melalui jalan darat lewat kereta api yang dijalankan dari daratan Cina, Kim melihat banyak peluang yang belum digarap. Sebelum pulang ke Seoul, Kim sempat mengantongi proyek industri ringan di Korut sebesar US$ 20 juta. Sebuah langkah awal yang baik.
Kalau diperhatikan dengan seksama, turn around di Daewoo memang masih berpusat pada Chairman Kim Woo Choong yang terkenal sebagai pekerja keras dan tak mengenal libur. la melakukan perjalanan bisnis sebanyak 200 hari dalam setahun. Bahkan ia segera masuk kerja setelah meninggalkan pemakainan putranya yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalulintas di Boston. Dengan begitu, jelas, persoalan di Daewoo belum selesai. Kalau mau melompat ke tahap selanjutnya dengan aman, Kim perlu menyusun tim manajemen yang tangguh dan mengembangkan inovasi yang orisinal.
sumber : SWA
Langganan:
Postingan (Atom)
0