DAEWOO : DILEMA KIM WOO CHONG

0

Daewoo berhasil karena kekuatan pendirinya : Kim Woo Chong. Kim mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk Daewoo. Ia tidur dan berkantor di pabrik, berkeliling dunia untuk mencari peluang baru, menanamkan kembali selisih keuntungan yang diperoleh, dan hidup sangat sederhana untuk ukuran seorang mahakaya seperti dia.

Hasilnya memang luar biasa. Bisnisnya berkembang sangat cepat. Dimulai dengan mengeksport tekstil dan pakaian jadi untuk Sears & Roebuck (Amerika) dengan modal awalnya hanya US$ 18 ribu, Daewoo kemudian masuk ke segala lini usaha, mulai dari barang-barang consumer electronic, alat-alat berat, pembuatan kapal, otomotif, komponen pesawat dan alat-alat ruang angkasa, telekomunikasi, konstruksi, hingga usaha-usaha di bidang keuangan, hotel dan perdagangan. Total penjualannya terus meroket dan mencapai US$ 34 miliar tahun lalu.

Tapi memasuki dasawarsa 1990 Chairman Kim tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa Daewoo mengalami krisis yang sangat buruk. Ke-19 anak perusahaanya yang biasanya mampu meraih keuntungan double digit tahun ini diketahui melempem. Ekspor merosot. Kalaupun Dewoo masih meraih laba, penyebabnya bukan usaha yang menguntungkan melainkan hasil penjualan aset-aset perusahaan. Upaya-upaya terobosan teknologi Daewoo dalam bidang semikonduktor juga gagal. Dan yang cukup menggangu, para buruh kini menuntut lebih banyak dan mereka sudah terang-terangan berani mogok secara
besar-besaran di pabrik-pabrik alat-alat berat Daewoo. Dihadapan sekitar 5 ribu eksekutifnya yang mengikuti pidato akhir tahun di Seoul Hilton International (juga milik Daewoo), Kim mengemukakan gagasannya untuk merampingkan perusahaan. Pertanyaan yang muncul kala itu tampaknya : mana dulu yang harus dibenahi Daewoo Electronics Co., misalnya sedang kehilangan pangsa pasar baik di Korsel maupun di luar negeri. Dewoo Telecommunications Inc. gagal mendapatkan sampbutan dalam pasar komputer AS setelah distributornya Leading Edge Products Inc. bangkrut. Daewoo Motor Co. yang
melakukan kemitraan dengan General Motors dan Le Mans gagal mencapai kapasitas produksi karena diboikot buruh. Sementara itu banyak yang masih harus dibenahi di pabrik kapal Daewoo yang terus merugi.

Mungkin karena investasi yang ditanam kan di Daewoo Shipbuilding besar sekali dan kondisinya juga paling parah, naluri Kim membawanya kesana. "Saya membersihkan meja direksi di Seoul dan membawa dokumen-dokumen penting ke Okpo (lokasi galangan kapal Daewoo) dan berkantor di antara kapal-kapal besar. Pesan saya cukup jelas: bahwa pimpinan tertinggi di grup ini bersedia melakukan apa saja untuk menyelamatkan kapal yang hampir karam ini." Tandasnya. "Yang saya perlukan adalah membangun semangat kerja "konsessus". Daewoo Shipbuilding & Heavy Machine (DSHM) kondisinya saat itu betul-betul tinggal menunggu kematian. Pesanan yang datang tak seberapa, smentara
produktivitas buruh sangat rendah. Pemogokan dan kerusuhan yang sering terjadi telah memekan banyak korban, baik mati maupun luka parah. Kalu di Barat, sudah pasti jalan yang ditempuh : likuidasi.

Tapi kini Kim tak mau. Ada nama Daewoo di galangan kapal itu, dan ia tak ingin nama itutercemar. "Orang boleh kehilangan apa saja, asal bukan reputasi," katanya. Maka dipikirkannya jalan keluar. Jalan keluar itu meminjam banyak sekali teknik dari buku-buku sekolah bisnis. Downsizing, empowerment, delayering, adalah istilah-istilah yang banyak muncul dalam rencana penyelamatan itu. Kecuali itu, jalan yang ditempuh Kim juga mengandalkan kekuatan Korea asli seperti disiplin, semangat kekeluargaan dan harmoni sosial.
Yang pertama dibenahi tentu kondisi keuangan. la meminta penjadwalan pembayaran utang ke Korea Development Bank yang jumlahnya 250 miliar won dan meminta tambahan utang baru 150 miliar won. Dengan janji akan menyuntik dana segar 400 miliar Won, Kim berhasil mendapatkan persetujuan bank itu. Untuk mengumpulkan dana sebesar itu saham di perusahaannya yang lain ia jual, demikianjuga sejumlah properti. Secara keseluruhan, uang yang dibenamkannya di situ bahkan melebihi janjinya: mencapai 775 miliar won. Mempertaruhkan uang sebesar itu untuk proyek yang nasibnya belum pasti,
jelas luar biasa.

Di Okpo, Kim tak hanya memakai seragam dan makan di kantin bersama para buruh. la juga bergaul dengan mereka setiap hari untuk mendengarkan keluhan mereka. Dia mengunjungi mereka di rumah, biasanya sewaktu makan pagi. Sesudah itu, pelatihan intensif dilakukan.' Tujuannya bukan untuk melatih pekerja membangun kapal (mereka sudah tahu) tetapi untuk mempersatukan kembali manajemen dan pekerja yang Hubungannya sudah rusak karena banyaknya kerusuhan. Bahkan pelatihan kekeluargaan pun diberikan, demikian pula kursus-kursus kesenian untuk para istri. Seluruh keluarga pekerja diajak piknik keliling Korea.

Pelatihan teknik baru diberikan setelah para pekerja diorganisasikan dalam grup-grup kecil tediri sekitar 12 orang. Pekerja dan manajer bersama-sama mengunjungi perusahaan Daewoo lain bahkan perusahaan-perusahaan Jepang. Tujuannya supaya para pekerja bisa menilai sendiri kemampuan mereka dan memikirkan upaya untuk meningkatkannya. Perubahan yang terjadi memang bukan perubahan besar seketika, tetapi
perbaikan kecil-kecil yang efek kumulatifnya tak kalah hebat. Pada 1989, sebuah alat las semi otomatis dikerjakan oleh seorang operator. Dalam tiga tahun, 6 alat dikerjakan satu orang, dan saat ini bahkan delapan. Karyawan yang terbebaskan dari pekerjaan itu bisa diberi pekerjaan lain. Daewoo juga melakukan rekayasa ulang proses produksinya yang berpusat pada galangan keringnya. Galangan sepanjang 530 meter itu mampu membangun 5 kapal sekaligus. Tetapi di situlah persoalannya: tak pernah terjadi kelima kapal itu selesai dalam waktu bersamaan. Padahal, begitu selesai galangan harus ditenggelamkan supaya kapal bisa keluar. Dengan demikian, terjadi ketidakefisienan pemanfaatan galangan.

Cara semacam itu diubah total. Kalau sebelumnya kapal dibangun lengkap di galangan, dengan cara baru bagian-bagian kapal dibuat di luar galangan untuk kemudian diangkat ke galangan dengan katrol raksasa. Di situ bagian-bagian itu dilas schingga menjadi kapal utuh - mirip membangun kapal lego. Dibutuhkan akurasi untuk melakukannya memang, tetapi kebutuhan tenaganyapun lebih sedikit. Dengan proses baru itu-disebut sistem baru pembangunan kapal - 85% pekerjaan diselesaikan di luar galangan, lebih besar dari sebelumnya yang 50%. Dampaknya pada waktu pengerjaan luar biasa. Pada 1989, diperlukan 15 bulan untuk membangun sebuah supertanker. Sekarang cuma perlu
8 bulan. Dengan begitu, order yang diterima pun bisa semakin besar. Konsumen juga
berdatangan karena DSHM bisa menawarkan harga lebih murah kecuali waktu pengerjaan yang lebih singkat. Pada 1993, perusahaan ini memperoleh pesanan kapal terbanyak di antara galangan kapal lain di dunia: 54 unit senilai US$ 2,8 miliar. Kini order menumpuk begitu panjang sehingga untuk 3 tahun ke depan pekerjaan sudah betul-betul penuh.

Perbaikan lain: buruh menjadi betul-betul kooperatif. Tahun lalu, galangan kapal terbesar Korea (Daewoo nomor dua) yang dimiliki Hyundai lumpuh karena pemogokan panjang. Pada bulan Juni serikat buruh juga meminta buruh DSHM mogok juga. Tetapi pemogokan itu berakhir sendiri dalam 24 jam setelah sebagian besar buruh, setelah berbicara dengan manajemen, memilih untuk tak melakukannya.

Meski kapal yang hampir karam telah dibenahi, nasib 19 anak perusahaan lain tentu perlu dipikirkan pula. Konsentrasinya di Okpo terbukti mengakibatkan anak-anak perusahaan lainnya seperti kehilangan gairah. la seperti kehilangan akal dan mengambil langkah-langkah seperti yang dilakukan di Barat, yakni perampingan. Di Asia, melakukan perampingan memang bukan hal yang lazim, bahkan kalau dilakukan tanpa rencana yang matang bisa menimbulkan keresahan. Di Seoul International Hotel dipenghujung tahun 1990, para eksekutif tampak murung. Mereka sudah mendengar rencana besar itu. Bahkan di hotel itu saja 200 manajer sudah di-PHKkan. Kemudian
presiden Daewoo Electronics dicopot dan digantikan seorang mekanik lulusan Massaschusetts Institute of Technology.

Dalam bidang pemasaran, Daewoo tampaknya juga melakukan tumaround yang sangat mendasar. Mereka mulai mengembangkan merek sendiri di negara-negara industri maju dan membuka jaringan baru di negara-negara berkembang. Menurut rencana strategis mereka, mobil-mobil Daewoo akan dipasarkan ke negara-negara berkembang seperti Filipina, Uzbekistan, Pakistan, Timur Tengah, negara-negara Amerika Latin dan negara-negara eks komunis di Eropa Timur.

Untuk memasuki pasar Eropa yang mulai menjadi satu itu, Daewoo membangun pabriknya di Irlandia Utara. Di Antrim, dekat Belfast, Daewoo membangun pabrik video cassette recorder (VCR) senilai US$ 39 juta yang menghasilkan 3 juta pita kaset VCR setiap tahunnya. Sementara itu di Uzbekistan, Daewoo membangun pabrik patungan senilai US$ 60 juta untuk rnembuat telepon tanpa kabel, TV dan vacum cleaner. Negara-negara Afrika yang kesulitan devisa tampaknya akan mengikuti pola investasi Daewoo di Uzbekistan, yakni transaksinya dilakukan secara imbal-beli.

Secara menyeluruh tampaknya Daewoo memilih untuk memasuki negara- negara berkembang yang sedang membangun. Di negara-negara itu peluang masih cukup besar dan kesempatan untuk membangun merek tidak terusik para pesaing. Namun demikian yang cukup mengejutkan pada 1991 adalah kunjungan Kim ke Korea Utara. Melalui jalan darat lewat kereta api yang dijalankan dari daratan Cina, Kim melihat banyak peluang yang belum digarap. Sebelum pulang ke Seoul, Kim sempat mengantongi proyek industri ringan di Korut sebesar US$ 20 juta. Sebuah langkah awal yang baik.

Kalau diperhatikan dengan seksama, turn around di Daewoo memang masih berpusat pada Chairman Kim Woo Choong yang terkenal sebagai pekerja keras dan tak mengenal libur. la melakukan perjalanan bisnis sebanyak 200 hari dalam setahun. Bahkan ia segera masuk kerja setelah meninggalkan pemakainan putranya yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalulintas di Boston. Dengan begitu, jelas, persoalan di Daewoo belum selesai. Kalau mau melompat ke tahap selanjutnya dengan aman, Kim perlu menyusun tim manajemen yang tangguh dan mengembangkan inovasi yang orisinal.

sumber : SWA

Mengenal Business Intelligence Software (BI)

0

Mohammad Okki

Bicara mengenai software aplikasi dalam dunia industri, sampai saat ini yang
merupakan state-of-the-art technology adalah aplikasi ERP (Enterprise
Resource Planning). Sampai tahun 2005 ini tidak ada software aplikasi yang
dapat melebihi kecanggihan ERP. Tidak mengherankan karena ERP telah mencakup
keseluruhan organisasi, dan meliputi semua aktivitas dalam organisasi. Namun
bagi yang berkecimpung di dunia IS/ES (Information System/Enterprise System),
kita dengan mudah belajar bahwa pasti akan ada aplikasi-aplikasi lain yang
akan muncul dan memberikan benefit-benefit baru pada praktisi industri.
Benefit yang tidak mampu untuk disediakan oleh software yang lama.
Bila kita ikuti trend perkembangan software IS/ES -dari MRP I, MRP II,
hingga ERP- titik berat perkembangannya adalah pada otomasi proses bisnis.
Inti pemikirannya adalah bila task rutin di tingkat shop floor yang bersifat
repetitif bisa diselesaikan oleh komputer (dengan bantuan sistem informasi)
maka produktivitas karyawan bisa ditingkatkan. Makin banyak volume pekerjaan
yang terselesaikan. Bila produktivitas karyawan meningkat dengan demikian
akan terjadi efisiensi produksi.
Sebenarnya dari paparan di atas pun, dengan mudah kita dapat kenali
kelemahan dari software-software IS/ES tadi. MRP I, MRP II sampai ERP hanya
bicara mengenai efisiensi. Penghematan biaya, penghematan waktu, penghematan
inventory, dan lain sebagainya. Bagaimana dengan efektivitas?
Di era persaingan global ini, tuntutan untuk "do the right thing" jauh lebih
besar dan lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan dengan "do things right".
Percuma bicara efisiensi distribusi bila ternyata yang kita produksi tidak
laku karena modelnya tidak disukai pasar. Percuma bicara penghematan waktu
dan biaya di shop floor bila pesaing kita melakukan outsourcing produksi dan
mereka tetap tidak kehilangan competitive edge.
Karena itulah muncul topik-topik seperti CRM dan SCM yang populer belakangan
ini. Di dunia IS/ES kita mengenal satu software yang sedang banyak
dibicarakan, yaitu Business Intelligence Software (BI).
Apa itu BI? Business Intelligence Software (BI) secara singkat juga dikenal
sebagai dashboard. Ini karena secara umum BI berfungsi seperti halnya
dashboard pada kendaraan. BI memberikan metrik (ukuran-ukuran) yang
menentukan performa kendaraan (organisasi). BI juga memberikan informasi
kondisi internal, seperti halnya suhu pada kendaraan. Dan BI juga memberikan
sinyal-sinyal pada pengemudi bila terjadi kesalahan pada kendaraan, seperti
bila bensin akan habis pada kendaraan. Semuanya berguna bagi pengemudi agar
mampu mengendalikan kendaraannya dengan lebih baik dan mampu membuat
keputusan yang tepat dengan lebih cepat.
Pada prakteknya, BI akan berfungsi sebagai analis, penghitung scorecard,
sekaligus memberikan rekomendasi pada user terhadap tindakan yang sebaiknya
diambil. Dengan menjalankan fungsi dashboard, user BI akan mengenali potensi
ketidakberesan pada perusahaan sekaligus dengan penyebabnya sebelum hal
tersebut berkembang menjadi masalah yang besar. BI akan berfungsi memberikan
advance alarm, memberikan informasi trend dan melakukan benchmark.
Jadi kenapa perusahaan harus mengadopsi dashboard? Ada 7 keunggulan utama BI
yang akan memberikan value bagi perusahaan:
1. Konsolidasi informasi
Dengan BI dijalankan di dalam perusahaan, data akan diolah dalam satu
platform dan disebarkan dalam bentuk informasi yang berguna (meaningful) ke
seluruh organisasi. Dengan ketiadaan information assymmetry, kolaborasi dan
konsolidasi di dalam perusahaan dapat diperkuat. Dengan konsolidasi, maka
dapat dimungkinkan pembuatan cross-functional dan corporate-wide reports.
Meskipun harus diakui, benefit ini juga mampu disediakan oleh software ERP.
2. In-depth reporting
Software Business Process Management (BPM) memang mampu memberikan report
dan analisis, namun cukup sederhana dan hanya bertolak pada kondisi intern.
Sedangkan BI mampu menyediakan informasi untuk isu-isu bisnis yang lebih
besar pada level strategis.
3. Customized Graphic User Interface (GUI)
Beberapa ERP memang berusaha membuat tampilan GUI yang user friendly, namun
BI melangkah lebih jauh dengan menyediakan fasilitas kustomisasi GUI.
Sehingga tampilan GUI jauh dari kesan teknis dan memberikan view of business
sesuai dengan keinginan masing-masing user.
4. Sedikit masalah teknis
Ini karena -pertama- sifatnya yang user friendly meminimasi kemungkinan
operating error dari user, dan -kedua- BI hanya merupakan software pada
layer teratas (information processing) dan bukan business process management.

5. Biaya pengadaan rendah
Karena BI hanya software yang bekerja pada layer teratas dari pengolahan
informasi, harga software-nya tidak semahal ERP. Biaya pengadaannya pun
menjadi lebih murah dibandingkan ERP.
6. Flexible databank
BI membuka kemungkinan untuk berkolaborasi dengan ERP sebagai pemasok
databank yang akan diolah menjadi reports dan scorecard, namun BI juga dapat
bekerja dari databank yang dibuat terpisah. BI pun menjadi terbuka untuk
digunakan oleh analis profesional dan peneliti, yang data olahannya bersifat
sekunder.
7. Responsiveness
Sifat dashboard (BI) lain yang tidak dimiliki oleh ERP adalah dalam hal
kecepatan (responsiveness). Misalnya pada penghitungan service level sebagai
salah satu Key Performance Indicator (KPI). Fungsi dashboard akan memberikan
peringatan kepada user sebelum batas bawah dalam service level (lower limit)
terlampaui. Akibatnya masalah bisa ditangani sebelum benar-benar muncul ke
permukaan. Salah satu contoh pada industri kesehatan, penggunaan BI berjasa
mencegah penyebaran suatu penyakit/wabah secara luas (outbreak).
Nama-nama vendor BI memang masih asing di Indonesia. Beberapa nama yang
terkemuka antara lain Business Object, Cognos, Hyperion, MicroStrategy, SAS
dan Bowstreet.
Di Amerika Utara dan Eropa, saat ini kustomer BI telah tersebar luas pada
sektor industri-industri terbesar seperti bank, airline, energi, elektronik,
kesehatan, agrikultur. Vendor-vendor BI juga telah berkolaborasi dengan
vendor-vendor Supply-Chain, Operating System (Windows, Unix, Linux), dan
software BPM seperti SAP, Oracle, IBM dan EMC. Kolaborasi ini menyebabkan
kustomer yang mengimplementasikan BI tidak memiliki kesulitan dalam hal
integrasi dengan sistem yang selama ini ada di organisasi mereka.
Bagaimana trend ke depan? Bila di Indonesia dashboard masih barang yang
baru, di Amerika dan Eropa saat ini timbul kecenderungan pengguna BI turun
dari level eksekutif ke level office worker. Penggunaan BI pun meluas, dari
yang semula hanya ditujukan pada top-level decision-maker ternyata pada
prakteknya sangat bermanfaat juga bagi daily decision-maker. Ini karena
dashboard -dengan setting metrik yang tepat- bisa mengurangi waktu siklus
pengolahan informasi dan pada akhirnya meningkatkan efektivitas karyawan
dalam pengambilan keputusan.
Bagaimana dengan ukuran industri? Sebagaimana data terakhir pada pertengahan
2005 menunjukkan, 60% perusahaan AS yang berpendapatan di atas $100 juta
telah mengimplementasi BI. 40% sisanya berencana implementasi sebelum 2006
berakhir.
Bagaimana industri di Indonesia?

Sumber:
http://www.erpweaver.com

Optimasi Model Transportasi

0

Ali Basyah
Department of Industrial Engineering, Bandung Institute of Technology
Bandung 40132 Indonesia , E-mail : alibasyah@pusat.itb.ac.id

Setiap sistem dalam berinteraksi dengan lingkungannya akan berupaya untuk
mempertahankan kondisi kesetimbangannya. Perubahan lingkungan dapat berimplikasi
pada perubahan struktur sistem dan pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku
sistem. Permasalahan optimasi secara umum dapat dipandang sebagai suatu proses
pencapaian kesetimbangan sistem. Untuk mencapai kesetimbangan ini, maka sistem
secara bertahap akan beradaptasi terhadap lingkungan dengan mereduksi
kesenjangan internalnya sedemikian rupa sehingga struktur internalnya tetap
dapat mendukung keberadaan sistem lebih lanjut.

Aksioma 1
Optimasi merupakan suatu proses adaptasi untuk mencapai kesetimbangan sistem
dengan mereduksi kesenjangan internal. Sistem secara efektif telah beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan atau kondisi kesetimbangan sistem (optimal) telah
dicapai jika kesenjangan internal sistem telah dapat dihilangkan.

Proses adaptasi merupakan proses perubahan yang memerlukan suatu mekanisme.
Mekanisme ini akan menjamin tercapainya kondisi kesetimbangan jika dapat
ditentukan dua karakteristik dasar, yaitu potensi perubahan sistem dan struktur
internal sistem. Potensi perubahan sistem menunjukan laju perubahan pencapaian
kesetimbangan sistem. Sedangkan struktur internal sistem akan membatasi
perubahan yang perlu dilakukan agar kesetimbangan sistem dapat dicapai.

Aksioma 2
Untuk mencapai kesetimbangan, maka suatu sistem perlu dan cukup memiliki dua
mekanisme berikut: (1) sistem mampu mengenali elemen-elemennya yang harus
beradaptasi sedemikian rupa sehingga kondisi kesetimbangan dapat dicapai secara
efisien (prinsip efisien). (2) sistem mampu memberikan sinyal yang menunjukkan
bahwa proses adaptasi yang dilakukan secara efektif telah merespons perubahan
lingkungan (prinsip efektivitas).

Berdasarkan aksioma 2, prinsip efisiensi dalam pencarian solusi permasalahan
transportasi dapat dijelaskan dengan menotasikan Ci;max dan Ci;min masing-masing
adalah biaya maksimum dan biaya minimum pada baris i dari matriks biaya
transportasi satuan (C), sedangkan Cj;max dan Cj;min masing-masing adalah biaya
transportasi satuan maksimum dan minimum pada kolom j, maka potensi perubahan
sistem dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
ai = (Ci;max – Ci;min)Si, V i (3.9)
bi = (Cj;max – Cj;min)Sj, V j (3.10)

Proposisi 1:
Jika alokasi dilakukan pada kolom atau baris dengan koefisien ai dan bj yang
semakin besar, maka solusi basis yang diperoleh akan menuju solusi optimal.

Persaingan antar Supply Chain

0

FYI..
Jika di Jepang, zaibatsu (financial cliques) melahirkan kairetsu corporate groups), (baca juga tulisan "Kairetsu Jepang" di bawah)sebenar konsep tersebut adalah aplikasi real dari konsep Supply Chain Management (SCM) yang memang menjadikan group bisnis seperti Toyota, Honda, Hitachi, Sony, Panasonic menjadi kekuatan dan raksasa bisnis dunia.

Kairetsu Jepang

Angsa Itu Mulai Beranak Elang

Kairetsu yang dapat diartikan sebagai Perkongsian ini sebenarnya merupakan strategi Jepang dalam berbisnis automotif di seluruh dunia. Caranya adalah para perusahaan besar automotive memiliki share di perusahaan-perusahaan lain yang merupakan groupnya, misal Toyota Group, ada Toyota Motor Company, Toyota Tsusho Indonesia, Toyota Engineering dll.

Perusahaan besar Jepang tersebut kemudian bekerjasama dengan banyak perusahaan local di seluruh dunia untuk produksi komponen, stamping, hingga perakitan but mostly dengan raw material adalah imported dari steel mills Jepang seperti Nippon Steel, Kawasaki Steel yang notabene steel producer ini juga memiliki share di Toyota Group. Disinilah letak "Keiretsu" nya Jepang, mereka akan tetap menomorsatukan raw material yang berasal dari group mereka sehingga perekonomian mereka tetap bergerak. Komposisi Krakatau Steel sebagai local content hanyalah sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kita cukup kebablasan dengan di ambil alihnya kepemilikan saham astra di TAM oleh Toyota Motor Company Jepang untuk kemudian berganti nama menjadi TMMC, Toyota Motor Manufacturing Company. Akibat dari hal ini secara financial adalah retain earning perusahaan lari ke Jepang semuanya, secara moral pekerja Indsonesia seperti menjadi tamu di negeri sendiri dan secara operasional peningkatan local content Krakatau Steel yang diperjuangkan Astra tidak lagi terdengar.

Morale of the story adalah peraturan pemerintah yang memberikan kebebasan perusahaan asing untuk memiliki 100% saham di Indonesia telah menjadi bumerang. Steel producer Indonesia yang seharusnya bisa memberikan kontribusi lebih kepada industri otomotif Indonesia tidak berjalan mulus, padahal bila menggunakan material Krakatau Steel kita
terhindar dari import duti yang tinggi sehingga harga mobil tidak perlu seperti sekarang ini.

Secara resmi zaibatsu (financial cliques) yang melahirkan keiretsu (corporate Groups), memang pernah dilarang saat Jepang diduduki oleh Amerika Serikat. Namun ketika kekuatan ekonomi Jepang mulai membaik sekitar tahun 1960-an-1970-an, zaibatsu bangkit lagi. Dunia bisnis Jepang kembali membuat pengelompokan seperti yang pernah ada pada masa sebelum perang. Namun berbeda dengan zaibatsu yang lebih jelas, keiretsu bersifat agak samar-samar.

Selama ini, para perencana ekonomi atau badan pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di negara-negara berkembang, sepertinya tidak pernah memeriksa berapa jumlah perusahaan yang mendukung, perusahaan besar Jepang untuk menghasilkan sebuah produk. Bila penelitian ini pernah dilakukan, tidak mustahil sejak awal mereka bisa mengetahui bahwa alih teknologi dari Jepang tidak akan pernah terjadi. Mereka akan sadar bahwa pemindahan kegiatan industri Jepang ke negara-negara berkembang, tak lebih hanyalah sekadar penyewaan lokasi untuk pabrik dan tenaga buruh, terutama
sehubungan dengan yendaka.

Gambaran lebih gampang bagaimana cara melihat bentuk keiretsu ini beroperasi, dapat dilihat jelas dari geliatan bisnis Jepang yang ada di industri otomotif dan elektronik, yang memiliki ratusan sampai ribuan mata rantai perusahaan. Dari situ akan terlihat bagaimana imposible-nya negara-negara berkembang melakukan alih teknologi tersebut.

Gampangnya, ada satu negara berkembang ingin melakukan alih teknologi elektronika TV atau mobil, maka negara ini tak cukup hanya membawa satu perusahaan saja untuk masuk ke negaranya dan kemudian bisa terjadi alih teknologi. Tetapi harus membawa ratusan atau ribuan perusahaan yang tersubordinasi atau yang menjadi pendukung perusahaan utama tersebut.

* * *
PERTANYAAN besarnya, apakah mungkin pemindahan atau pembuatan semacam duplikat dari mata rantai perusahaan-perusahaan sebanyak itu. Ini baru satu persoalan saja, yakni pemindahan perusahaan saja, belum termasuk alih teknologi.

Dalam kasus Toyota misalnya, sebuah studi menyebutkan bahwa lapisan atas struktur organisasi piramida Toyota, tersusun oleh 10 perusahaan subkontraktor utama. Di luar ini ada dua lagi perusahaan lain, tapi tidak berkaitan dengan kegiatan manufakturing. Total perusahaan pada lapisan atas berjumlah 12 unit. Namun jumlah tersebut masih di tambah lagi oleh dua perusahaan, yang dalam kesan umum sering dirasakan sebagai saingan Toyota di pasaran mobil, yakni Daihatsu Motors dan Hino Motors yang dikonsentrasikan pada truk.

Pada lapisan menengah piramida itu terdapat pula dua grup pembuat komponen.
Masing-masing adalah kyoho-kai (Toyota cooperative association), yang terdiri dari 183 perusahaan dan kemudian Eiho-kai (Toyota Prosperity Association), yang terdiri dari 65 perusahaan. Totalnya 248 perusahaan, ini baru perusahaan yang nampak dalam keiretsu Toyota.

Di bawah perusahaan-perusahaan ini masih terdapat pula beberapa angkatan perusahaan dalam urutan hirarki, yang masing-masing terdiri pula dari ratusan perusahaan. Namun berapa pastinya jumlah perusahaan yang ada dalam jaringan keiretsu Toyota, barangkali hanya Toyota sendiri yang tahu.

Semua ini memang hanyalah gambaran yang tidak sepenuhnya utuh, namun minimal
mendekati kebenaran mengenai otomotif Toyota. Sebab di luar gambaran ini masih ada pula jaringan distribusi yang mencapai 4.750 perusahaan. Seperti yang ada dalam bayangan orang pada umumnya, sekadar untuk membuat kaca spion saja, perusahaan-perusahaan industri mobil Jepang memerlukan tiga atau empat perusahaan kecil. Perusahaan terakhir melakukan tugas untuk merakit hingga menjadi spion. Keempat perusahaan ini tak mungkin sendiri, karena satu sama lain merupakan dari rangkain sistem.

Ciri semacam ini bukan khas dominasi dari Toyota, tetapi merupakan khas dari seluruh perusahaan besar di Jepang. Matsushita misalnya, memiliki rantai 160 perusahaan, yang masing-masing perusahaan memiliki lagi mata rantai kecil hingga yang paling kecil yang tidak sedikit jumlahnya. Demikian juga dengan Sony, Hitachi, dan Mitsubishi, semua mengikuti pola seperti itu.

Sebuah contoh konkret tentang berlakunya aturan main tersebut adalah, soal terbakarnya pabrik rem milik Toyota di Perfektur Aichi beberapa bulan lalu.
Akibat tidak mungkinnya Toyota memperoleh suplai dari luar jaringannya, maka
perusahaan ini harus menghentikan produksi beberapa hari. Akibatnya Toyota
menderita kerugian milyaran yen, karena harus menunggu salah satu pensuplai
dari lingkungan sendiri memproduksi komponen rem yang diperlukan.

* * *
KEMBALI dalam hubungan antara Jepang dan mitra dagangnya selama ini, jelas
terlihat bahwa pengejaran oleh angsa yang berada di belakang dalam kawanan
angsa menurut flying geese model jelas tidak akan pernah terjadi. Ini belum
lagi jika faktor-faktor lain ikut diperhitungkan sebagai misal, sikap perusahaan-perusahaan Jepang yang ada kalanya, jelas-jelas menghalangi negara berkembang untuk melangkah sendiri atau menyalahi garis yang ditetapkan.

Kasus pengembangan teknologi Mazda tua yang berhasil dilakukan KIA dari Korsel pada pertengahan tahun 1980-an yang akhirnya menimbulkan kekecewaan KIA, karena Mazda menolak memberi restu atas teknologi tersebut. Masih dalam konteks Korsel, dalam industri semi konduktor, sering kali dikatakan koran bahwa Korsel telah mengalahkan Jepang.

Tapi di luar cerita di koran-koran, ilmuwan Korsel sendiri mengeluh bahwa akibat ketergantungan pada Jepang, total hasil keuntungan dari penjualan semi konduktor tersebut ternyata lebih besar dikantungi Jepang beberapa kali lipat daripada Korsel-nya sendiri.

Barangkali ketidakpuasan yang kini mulai timbul di negara-negara mitra Jepang di Asia, terutama sekali dalam hal alih teknologi, apakah tidak mungkin bahwa industri yang ada di negara berkembang tersebut adalah jaringan keiretsu Jepang. Kalau perkiraan ini salah, pertanyaan yang timbulselanjutnya, melihat dasar dan rumitnya jaringan keiretsu, serta aturan atau komitmen-komitmen yang dipegang teguh para anggota, tampaknya hampir mustahil bagi negara berkembang untuk bisa tumbuh menjadi kekuatan industri yang mandiri.

Kalau hanya sekadar dilihat dari sisi menumbuhkan lapangan kerja baru, barangkali kehadiran perusahaan Jepang bisa dianggap bermanfaat. Sisi lainnya hanya sekadar untuk memperoleh wahana latihan dalam sistem industri modern, walau hanya sepotong-sepotong.

Jadi sangat keliru jika hubungan bisnis yang terjalin melalui investasi Jepang di Indonesia selama ini, merupakan rumus efektif untuk memaksa Jepang melakukan alih teknologi. Setelah proses itu terjadi, kemudian negara berkembang itu sendiri menjalankan berbagai proses produksi dari awal hingga akhir. Padahal dalam sistem keiretsu, ibaratnya semua itu tak lebih hanyalah tangan perusahaan Jepang yang ada di negara berkembang, dari ribuan tangan yang mengenggam kepingan teknologi dari produk yang dihasilkannya.

Proses tak terjadinya alih teknologi dalam industri otomotif nasional, sekali pun telah bermitra seperempat abad dengan Jepang, tidak perlu ditanggapi sebagai kekecewaan. Masalah itu sebenarnya sudah harus disadari sejak awal, bahwa hal itu memang tidak mungkin pernah terjadi. Kita telah kehilangan waktu sekitar seperempat abad, karena ketidakjelian lembaga terkait dalam membaca "nafas bisnis" Jepang yang sesungguhnya yang tetap berobsesi ingin menjadi saudara tua, cahaya dan pelindung bagi Asia.

Bila ingin menguasai teknologi dan akhirnya menjadi mandiri, Indonesia mungkin bukan harus menjadi angsa yang adem dan terbang lembut di belakang dalam formasi huruf "V" terbalik itu. Melainkan harus berubah menjadi elang yang tangguh. Namun untuk menjadi elang yang tangguh harus ada kepastian hukum, permainan yang adil dan kompetitif, tidak membuang peluang, menjaga kewibawaan, performance yang bagus, kesungguhan, serius, dan tidak menganggap segala sesuatunya sebagai barang mainan sesaat.

Tetapi harus dilihat sebagai sesuatu peluang besar untuk membawa bangsa ini menjadi mandiri, karena waktu, tenaga, dana dan kehormatan yang dipertaruhkan untuk menjadi elang itu sudah terlalu besar dikeluarkan. Kalau semua pengorbanan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat ini tak diimbangi dengan kemampuan yang maksimal, bukan saja si induk angsa beserta rangkainnya yang menghantamnya, tetapi juga kolega angsa itu ikut menghantamnya. (Banu Astono/ Yusron Ihza)

ERP, Infrastruktur Vital Sebuah Industri

0


ERP, Infrastruktur Vital Sebuah Industri

Abdy Taminsyah

Artikel ini ditujukan kepada pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan yang mendasar
mengenai konsep Enterprise Resource Planning (ERP) dan bagaimana konsep ERP ini bias menjadi infrastruktur penting buat suatu industri. Artikel ini dibagi menjadi 3 bagian:

1) Konsep dasar ERP
2) Bagaimana menentukan ERP yang cocok untuk anda
3) Sistim ERP di masa depan.

Bagian 1 -- Konsep Dasar ERP

Enterprise Resource Planning (ERP)

Sistim ERP adalah sebuah terminologi yang secara de facto telah diberikan kepada software aplikasi yang dapat mendukung transaksi atau operasi sehari-hari yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya sebuah perusahaan, seperti dana, manusia, mesin, suku cadang, waktu, material dan kapasitas.

Sistim ERP dibagi atas beberapa sub-sistim yaitu sistim Financial, sistim Distribusi, sistim Manufaktur, sistim Maintenance dan sistim Human Resource.

Industri analis TI seperti Gartner Group dan AMR Research telah sejak awal tahun 90an memantau dan menganalisa paket-paket aplikasi yang tergolong dalam sistim ERP. Contoh paket ERP antara lain: SAP, Baan, Oracle, IFS, Peoplesoft dan JD.Edwards.

Untuk mengetahui bagaimana sistim ERP dapat membantu sistim operasi bisnis kita, mari kita perhatikan suatu kasus kecil seperti di bawah ini:

Katakanlah kita menerima order untuk 100 unit Produk A. Sistim ERP akan membantu kita menghitung berapa yang dapat diproduksi berdasarkan segala keterbatasan sumber daya yang ada pada kita saat ini. Apabila sumber daya tersebut tidak mencukupi, sistim ERP
dapat menghitung berapa lagi sumberdaya yang diperlukan, sekaligus membantu kita dalam proses pengadaannya. Ketika hendak mendistribusikan hasil produksi, sistim ERP juga dapat menentukan cara pemuatan dan pengangkutan yang optimal kepada tujuan yang ditentukan pelanggan. Dalam proses ini, tentunya segala aspek yang berhubungan dengan keuangan akan tercatat dalam sistim ERP tersebut termasuk menghitung berapa biaya produksi dari 100 unit tersebut.

Dapat kita lihat bahwa data atau transaksi yang dicatat pada satu fungsi/bagian sering digunakan oleh fungsi/bagian yang lain. Misalnya daftar produk bisa dipakai oleh bagian pembelian, bagian perbekalan, bagian produksi, bagian gudang, bagian pengangkutan,
bagian keuangan dan sebagainya. Oleh karena itu, unsur 'integrasi' itu sangat penting dan merupakan tantangan besar bagi vendor vendor sistim ERP.

Pada prinsipnya, dengan sistim ERP sebuah industri dapat dijalankan secara optimal dan dapat mengurangi biaya-biaya operasional yang tidak efisien seperti biaya inventory (slow moving part, dll.), biaya kerugian akibat 'machine fault' dll. Di negara-negara maju yang sudah didukung oleh infrastruktur yang memadaipun, mereka sudah dapat menerapkan konsep JIT (Just-In-Time). Di sini, segala sumberdaya untuk produksi benar-benar disediakan hanya pada saat diperlukan (fast moving). Termasuk juga penyedian suku cadang untuk maintenance, jadwal perbaikan (service) untuk mencegah terjadinya machine fault, inventory, dsb.

Berapa jumlah perusahaan yang ingin memakai sistim ERP?
Pertanyaan ini mungkin dapat dijawab dengan pertanyaan : Bisakah perusahaan anda bertahan hidup (survive) tanpa sistim ERP?
Menurut AMR Research dari Boston, untuk perioda 1997-2002, potensi pasar vendor sistim ERP akan melaju dari 11 sampai 52 milliar USD.

Beberapa variasi ERP

Di sistim manufacturing sendiri bisa terdapat beberapa variasi:
a) make-to-stock (diproduksi untuk dijadikan stok)
b) assemble-to-order (dirakit berdasarkan permintaan)
c) assemble-to-stock (dirakit untuk dijadikan stok)
d) make-to-order (diproduksi berdasarkan permintaan).
Contoh make-to-stock misalnya: pabrik kertas dimana kertas itu sudah menjadi suatu
komoditi yang bisa dijual kapan saja. Sebuah contoh assemble-to-stock misalnya: pabrik TV yang mendatangkan komponennya secara knockdown yang kemudian di rakit untuk
dijadikan TV siap jual.

Pada dasarnya, semakin kompleks suatu industri, maka sistim manufacturing tersebut juga makin menuju ke sistim assemble-to-order atau make-to-order. Sebagai contoh, industri
pesawat nyaris tidak mungkin memakai sistim make to stock karena komponennya saja perlu di rancang khusus. Untuk industri seperti itu, beberapa vendor sistim ERP juga menyediakan sistim Project Management sebagai ganti dari sistim produksi.

Ada juga industri yang memerlukan sangat banyak komponen yaitu misalnya industri mobil atau industri elektronik. Dalam industri-industri ini, jumlah komponen dapat sampai jutaan macam dan masing-masing mempunyai atributnya sendiri-sendiri. Untuk kebutuhan ini, ada vendor sistim ERP yang menyediakan sistim Product Data Management (PDM). Dengan PDM, kita bisa dengan cepat mendapatkan informasi yang lebih lengkap mengenai
hubungan suatu komponen dengan komponen yang lain. Selain itu dapat juga diketahui informasi mengenai suatu komponen atau komponen grup termasuk daftar harga, spesifikasi, pemasok dan daftar pemasok alternatif.

Bagi industri yang memerlukan efisiensi dan komputerisasi dari segi penjualan, maka ada tambahan bagi konsep ERP yang bernama Sales Force Automation (SFA). Sistim ini merupakan suatu bagian penting dari suatu rantai pengadaan (Supply Chain) ERP. Pada
dasarnya, Sales yang dilengkapi dengan SFA dapat bekerja lebih efisien karena semua informasi mengenai suatu pelanggan atau produk yang dipasarkan ada di databasenya.

Khusus untuk industri yang bersifat assemble-to-order atau make-to-order seperti industri pesawat, perkapalan, automobil, truk dan industri berat lainnya, sistim ERP dapat juga dilengkapi dengan Sales Configuration System (SCS). Dengan SCS, Sales dapat memberikan penawaran serta proposal yang dilengkapi dengan gambar, spesifikasi, harga berdasarkan keinginan/pesanan pelanggan. Misalnya saja seorang calon pelanggan menelpon untuk mendapatkan tawaran sebuah mobil dengan berbagai kombinasi yang mencakup warna biru, roda racing, mesin V6 dengan spoiler sport dan lain-lain. Dengan SCS, Sales dapat menberikan harga mobil dengan kombinasi tersebut pada saat itu juga.

Proses

Sistim ERP dirancang berdasarkan proses bisnis yang dianggap 'best practice' - proses umum yang paling layak di tiru. Misalnya, bagaimana proses umum yang sebenarnya berlaku untuk pembelian (purchasing), penyusunan stok di gudang dan sebagainya.

Untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari sistim ERP, maka industri kita juga haurs mengikuti 'best practice process' (proses umum terbaik) yang berlaku. Disini banyak timbul masalah dan tantangan bagi industri kita di Indonesia. Tantangannya
misalnya, bagaimana merubah proses kerja kita menjadi sesuai dengan proses kerja yang dihendaki oleh sistim ERP, atau, merubah sistim ERP untuk menyesuaikan proses kerja kita.

Proses penyesuaian itu sering disebut sebagai proses Implementasi. Jika dalam kegiatan implementasi diperlukan perubahan proses kerja yang cukup mendasar, maka perusahaan ini harus melakukan Business Process Reengineering (BPR) yang dapat memakan waktu
berbulan bulan.

Sebagai kesimpulan, sistim ERP adalah paket software yang sangat dibutuhkan untuk mengelola sebuah industri secara efisien dan produktif. Secara de facto, sistim ERP harus menyentuh segala aspek sumber daya perusahaan yaitu dana, manusia, waktu, material dan kapasitas. Perlengakapan sistim ERP mencakup juga SFA, SCS, PDM dan juga Project Management. Karena sistim ERP dirancang dengan suatu proses kerja terbaik yang berlaku umum, maka hal ini merupakan tantangan konsultan ERP untuk dapat menerapkan sistim ERP untuk suatu perusahaan.

Bagian 2 -- Pemilihan ERP

Bagaimana kita memilih sebuah sistem ERP yang cocok bagi industri kita? Saya kira kalau anda ingin industri anda maju dengan mengandalkan sistem ERP, terutama di Indonesia, maka beberapa faktor di bawah ini sangat perlu dipikirkan:

1) Feature
2) Teknologi
3) Sumber daya manusia
4) Infrastruktur

Feature

Seperti yang terbahas di Bagian I, perangkat lunak yang tergolong ERP itu secara umum dirancang supaya dapat memberikan solusi untuk industri jenis apapun (horizontal solution). Namun, pada kenyataannya, setiap industri itu punya ciri khas tersendiri. Hal ini
menyebabkan timbulnya fungsi-fungsi atau features di ERP yang spesifik untuk industri tertentu (vertical solution).

Pada sisi lain, teori di dalam ERP itu sendiri juga mengalami proses evolusi seiring dengan tumbuhnya tuntutan konsumen dan perkembangan teknologi. Misalnya: tuntutan Inventory Reduction menjadi tuntutan Zero In-Process-Inventory, dari Batch Manufacturing menjadi Just-In-Time Manufacturing, dari konsep Routing menjadi konsep Synchronising.

Oleh karena itu, features yang anda butuhkan dalam operasi sehari-hari harusnya bisa ditunjang oleh ERP yang dipilih. Kadang kita melihat features yang bagus yang berdasarkan teori baru, kita perlu hati-hati menilai apakah feature baru itu bisa diterapkan pada kondisi sekarang ini. Selalu ingat bahwa kita di Indonesia mempunyai kultur tersendiri. Salah pengertian atau salah memilih berdasarkan faktor features akan menimbulkan kekacauan dan bahkan menghambat operasi perusahaan. Memang banyak
perusahaan yang menanam waktu untuk penilaian ini. Cocok atau tidaknya biasanya juga bisa kita selidiki dari daftar konsumen yang telah memakai ERP tersebut dan apakah industri konsumen itu serupa dengan industri kita.

Teknologi

Salah satu analis industri ERP terkemuka pernah mengatakan 'jika memilih ERP, anda harus melihat teknologi yang digunakan dibaliknya'. Sayangnya, banyak user yang memilih ERP belum tentu memberikan perhatian cukup pada hal ini. Sebagai orang teknik, saya bisa memahami betapa sulitnya jika sebuah aplikasi yang berskala ERP harus didesain ulang dengan teknologi baru.

Seperti banyak hal lainnya, teknologi ada yang Sunrise dan ada yang Sunset. Ingatkah anda dengan Fotran, PDP-11, Pascal, Cobol, Wordstar yang hanya sepuluh tahun yang lalu muncul di setiap kurikulum Computer Science di universitas kita, apakah ada aplikasi baru yang dibangun dengan bahasa itu, hari ini?. Untuk mengetahui mana yang Sunrise dan mana yang Sunset merupakan tantangan bagi departemen MIS/EDP yang biasanya lebih
ter-update dibanding dengan departemen lainnya. Sayangnya, biasanya pemilihan ERP itu didorong dari pihak user (pemakai) yang lebih terfokus kepada feature, sehingga faktor teknologi biasanya diabaikan. Akitbatnya, terjadilah masalah di kemudian hari seperti
banyaknya perusahaan di Indonesia yang 'terjebak' dengan namanya sistem 'legacy'.


Sumber Daya Manusia

Secanggih apapun teknologi kita hari ini, ERP tetap saja belum sempurna seperti yang diharapkan manusia. Oleh karena itu, seberapa sukses pun ERP yang kita pilih dari luar negeri, di negeri kita ini belum tentu bisa jalan jika tidak didukung oleh lokal support yang kuat. Kita harus benar-benar teliti memilih vendor yang bisa komit terhadap apa yang mereka tawarkan sebab menangani paket ERP sangat lain dibandingkan dengan menangani penjualan PC atau paket perangkat lunak desktop. Sayangnya, di Indonesia masih belum ada badan independen yang dapat menilai prestasi ERP vendor sekaligus mengaudit kualitas jasa yang mereka berikan sehingga sering kita dengar istilah PBTTJ - Produknya Bagus Tapi Tidak Jalan.

Selain dari vendor, perusahaan juga harus ada sumber daya manusia yang terampil untuk melaksanakan proyek implementasi ERP ini. (lihat 'Manajer Proyek -- Orang langka di dunia TI')

Infrastruktur

Infrastruktur dalam hal ini termasuk sistem pendukung untuk penerapan suatu proyek ERP. Contohnya: apakah vendor menyediakan HelpDesk; apakah vendor mempunyai tata cara
(standard operating procedure/methodology) dalam penerapan sistem ERP; apakah vendor mengetahui langkah apa yang harus diambil pada saat melakukan customization, apakah vendor bisa menjelaskan langkah-langkah apa yang harus ditempuh sebelum sistem 'go-live', umpamanya.

Perlu diperhatikan juga kemungkinan perlunya upgrading di masa depan. Apakah vendor masih 'ingat' apa yang telah dilakukan? Apakah vendor tahu konfigurasi sistem yang telah terpasang pada konsumen setelah misalnya dua tahun kemudian?

Prinsipnya, kita harus bisa bedakan infrastuktur yang sekedarnya dengan yang benar-benar bisa diandalkan.

Kesimpulan

Penerapan suatu ERP sistem itu adalah suatu proses yang kontinu. Begitu dimulai sudah tidak mungkin lagi dihentikan dan tidak ada titik kesempurnaannya. Yang ada hanyalah proses penyempurnaan yang tak terhenti. Maka penilaian ERP juga mesti dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Banyak faktor yang perlu dipikirkan pada seleksi ERP. Pada umumnya, ERP yang masuk ke Indonesia sudah teruji kesuksesannya. Namum kesuksesan di negara lain belum tentu bisa menjadi suatu jaminan bagi kita. Masalah sumber daya manusia dan
infrastruktur juga menjadi faktor penentu.***


3) Sistim ERP di masa depan.

Seiring dengan tuntutan bisnis, kebutuhan industri akan melampaui apa yang dapat didukung oleh ERP tradisional yang secara murni hanya memfokuskan pada pengelolaan sumber daya. Industri modern memerlukan ERP bernilai tambah yang mempunyai cakupan
aspek bisnis yang lebih luas.

ERP Akan Lebih Mendukung Customer Service

Sesuai dengan konsep 'Customer is King', maka industri manufaktur tidak cukup hanya untuk menghasilkan produk-produk dengan harga murah yang bermutu tinggi. Suatu industri seharusnya juga memberikan nilai tambah dalam bentuk Customer Service. Meskipun dua produk mempunyai mutu dan harga yang sama, konsumen akan lebih memilih untuk membeli produk dari perusahaan yang dapat memberikan customer service yang lebih baik.

Customer Service bisa diberikan sebelum terjadi transaksi penjualan, misalnya membantu konsumen memilih dan menentukan konfigurasi dari produk yang akan dipesan (dari konsep make-to-stock menjadi konsep make-to-order ), mensimulasikan hasil pesanan dalam bentuk gambar, contoh, ataupun prototipe, menentukan jadwal pengantaran hasil pesanan yang akan dapat terlaksana, dan sebagainya.

Customer Service juga bisa diberikan setelah terjadi transaksi penjualan, misalnya menginformasikan status terakhir pesanan secara proaktif, memberikan kemudahan dalam hal pembatalan dan perubahan pesanan, memberikan dukungan purna jual yang cepat
dan efektif, dan sebagainya.

Untuk memenuhi tuntutan yang tercantum diatas, ERP tidak hanya harus lebih bersifat Customer-oriented, tetapi seharusnya juga dapat melakukan perencanaan produksi berdasarkan supply-chain (jalinan suplai) yang melibatkan input dari konsumen sekaligus dari pemasok. Dalam hal ini, baik pemasok internal perusahaan maupun pemasok dari luar. Beberapa konsep yang telah diterapkan oleh beberapa vendor ERP antara lain Sales Force Automation, Sales Order Configuration, Customer Care, Advance Planning & Scheduling dan Help Desk.

ERP Akan Bisa Mendukung Industri yang Spesifik

Industri manufaktur tidak lagi menjadi satu-satunya industri yang memerlukan ERP.
Kita telah bisa lihat bahwa industri spesifik seperti Telekomunikasi, Multi-level Marketing, Perusahaan Listrik atau Pertambangan dapat menggunakan ERP. Juga semakin sering terlihat adalah industri jasa (Service) seperti perhotelan, rumah sakit, perbankan, asuransi
yang juga menggunakan ERP.

Tidak mengherankan jika suatu saat, sekolah, departemen kehakiman, departemen pertahanan, bahkan suatu badan pemerintahaan seperti kantor gubernuran juga dapat menggunakan ERP. Ya.. istilah ERP sendiri tentu juga merubah menjadi, katakanlah, FRP (Federal Resource Planning).

Dengan segala keterbatasan sumber daya dari ERP vendor, maka feature yang dirancang untuk sebuah industri spesifik akan terbatas juga. Ada ERP yang lebih cocok untuk industri A, ada yang untuk industri B, namun tidak mungkin ada ERP yang cocok untuk semua industri. Akan menjadi seberapa spesifikkah? ERP vendor akan selalu mencari titik keseimbangan agar produknya tidak menjadi terlalu spesifik sampai tidak diterima oleh industri secara luas . Industri sebaiknya berhati-hati dalam memilih ERP yang cocok.

ERP Akan Lebih Mendukung Pengambilan Keputusan (Decision Support) Manajemen

ERP sekarang lebih memfokuskan untuk mendukung proses sehari-hari, seperti, menjalankan perencanaan produksi atau menjalankan suatu proses pengadaan. ERP yang akan datang juga akan memberikan kemudahaan untuk membantu pengambilan keputusan bagi manajemen.

Berdasarkan data yang terkumpul sehari-hari, manajemen juga dapat membaca perkembangan perusahaan dalam suatu periode, misalnya, dalam setahun, dua tahun dan seterusnya. Data rekapitulasi yang terkumpul dalam suatu gudang data (data warehouse) ini sangat bermanfaat bagi manajemen menengah maupun manajmen atas untuk mengambil keputusan keputusan strategi perusahaan.

ERP Akan Lebih Fleksibel Dalam Penerapannya

Projek penerapan ERP terkenal dengan biaya dan waktu yang dibutuhkan. Hampir semua ERP vendor dalam memecahkan masalah yang mempunyai kompleksitas tinggi telah menggunakan pendekatan solusi secara modular. Pendekatan solusi seperti ini akan menggabungkan/mengintegrasikan beberapa modul dalam memberikan solusi. Lebih dari itu, pendekatan secara modular dapat menyelesaikan permasalahan komplek secara bertahap dan tetap manageable.

Namun, proses yang dinamakan Componentize ini tidak sesederhana seperti yang terpikirkan oleh kita, karena hal tersebut tergantung teknologi yang dipakai.

ERP Akan Menjurus ke Sistem Bayar-sesuai-pemakaian

Dengan adanya infrastruktur seperti Internet dan media telekomunikasi yang canggih, sistem ERP akan dapat di-'sewa'-kan melalui Internet. Biaya yang dikeluarkan akan disesuaikan dengan berapa yang dipakai. Pengukuran mungkin dapat berdasarkan
transaksi yang dilakukan, bisa juga dengan berapa pemakai yang log-on pada suatu saat, bisa juga berdasarkan besarnya harddisk yang dipakai untuk menampung data sebuah perusahaan.

Untuk sampai pembiayaan yang seperti ini, maka banyak persiapan yang perlu dilakukan. Persiapan seperti media telekomunikasi serta ketentuan hukum yang diperlukan atas kerahasiaan informasi perusahaan yang dapat dihandalkan.

Sebagai kesimpulan, ERP akan berkembang terus sesuai dengan tuntutan konsumen. Yang jelas perkembangan ERP pada masa depan ini akan dititik-beratkan pada beberapa hal, yaitu, lebih mendukung customer service, lebih mendukung vertical industri spesifik (vertical industry), dan juga lebih mendukung proses pengambilan keputusan (decision support). ERP masa depan juga akan lebih fleksibel dalam penerapan, pemakaian